Tuhan tidak menciptakan hamba yang selalu bersedih dan
berputus asa. Tuhan selalu menginginkan hambaNya yang selalu taat kepadaNya dan
bahagia dengan hidup yang telah diberikan. Tuhan tidak pernah memberikan cobaan
yang benar-benar berat kepada hambaNya, karena Dia selalu menyediakan jalan
untuk keluar dari sebuah masalah. Jika kau mengutuk Tuhan atas kesialan yang
menimpamu, itu adalah kesalahan karena kau tidak tau apa-apa tentang apa yang
akan terjadi. Yang mengetahuinya hanyalah Tuhan, rencananya lebih baik daripada
sebuah terkaan hamba yang jenius sekalipun.
Tuhan menciptakan kau karena Dia sudah memiliki rencana. Sembari menunggu
terlaksananya rencananya itu kita sebagai hambaNya diberi kesempatan untuk
mendekatkan diri kepadanya. Mungkin saja Dia bisa merubah rencanya kepada kita
atas usaha kita. Jangan takut akan akhir kehidupan, karena kematian adalah hal
yang pasti. Sukar untuk ditebak memang, bagaimana kita mati kelak? Siapa yang
akan menemani kala kita mati kelak? Apa yang akan kita lakukan kala kita sudah
mati kelak? Akankah kita hanya tertidur pulas dibawah timbunan tanah? Bermain
dan bercengkrama bersama cacing? Seiring berjalannya waktu, raga kita hancur.
Lalu bagaimana? Sudahlah itu urusan nanti, jangan terlalu dipikirkan, atau kau
akan menjadi gila. Hal terpenting adalah selalu mendekatkan diri dengan Tuhan
yang menciptakan kehidupan. Entah bagaimana cara yang kau pergunakan, yang
pasti Tuhan tau apa yang ada di dalam hatimu, Dia selalu bisa membaca niatan
hambaNya. Percaayalah, Tuhan itu ada.
Senin, 03 Februari 2014
Tulisan Ketujuh "Sekedar Cerita 2"
Ingin sekali aku berteriak kepadamu bahwa aku adalah orang
yang mencintaimu dan tersakiti oleh sikapmu dulu. Ingin rasanya airmata ini
kutumpahkan saat itu juga, agar kau dapat melihat betapa rapuhnya hati seorang
gadis kecil yang pernah kau akui sebagai seorang yang kau sayangi ini.
Saat itu aku tak banyak berbicara kepaadamu, hanya obrolan kecil yang awalnya cukup canggung. Namun dengan menekan segala keraguan yang ada aku berusaha untuk membiasakan diri. Tak juga terpungkiri raut wajah gugupmu. Tertawalah dalam hati diriku ini. Duduk disampingmu, mendengar suaramu, bahkan menyentuh tanganmu. Tuhan, ini begitu nyata. Dia yang kucinta ada didepan mata, dia yang selalu menjadi alasan mengapa aku rapuh. Beberapa jam kuhabiskan waktu bersamamu, tak terasa kita harus berpisah. Menciptakan jarak kembali, dan kuharap kita dapat bertemu lagi. Kulambaikan tangan seraya jarak semakin menjauh dan tak kulihat lagi dirimu.
Di perjalan aku selalu mengingat setiap hal kecil yang baru saja kita alami. Sangat mengharukan. Terimakasih untuk hari itu. Mungkin itu adalah kado terindah di bulan April untukku. Satu hari sebelum 30 April, ulangtahunku. Kau mulai aneh, marah tidak karuan, menciptakan emosi yang begitu meluap. Apa yang terjadi? Aku berpikir bahwa ini hanya trikmu untuk memberikan kejutan di hari ulangtahunku besok. Kutunggu jam bergerak kearah 12, namun tak kutemukan kemunculanmu di layar ponselku. Hanya beberapa teman sepermainanku, dan aku mulai putus asa. Ternyata kau benar-benar marah.
Namun tidak, tepat pukul 04.00 ponselku berbunyi, satu panggilan dari nomer yang disembunyikan. Aku malas mengangkatnya, karena mataku masih terpejam. Dengan berat hati aku angkat jua panggilan masuk itu, tidak ada suara. Ah orang iseng, kututup panggilan itu. Beberapa saat kemudian namamu muncul, segera kuangkat lagi, dan benar saja kau meminta maaf atas kemarahan yang tak berasalanmu itu, kau berkata bahwa itu memang sudah direncanakan. Pagi itu kau mengingatkanku akan pertama kalinya kau bilang bahwa kau menyayangiku, dank kau lakukan lagi saat itu. Sungguh aku sangat bahagia, namun tak bisa kupungkiri bahwa keraguan yang besar juga bersarang di hati ini. Permintaanmu untuk kembali. Aku takut kau akan meyakitiku lagi, aku terlalu takut lebih banyak air mata yang akan jatuh, aku takut. Kau meyakinkanku bahwa kita akan memulai yang baru, dan kesalahan yang lalu akan menjadi pelajaran bagimu. Pagi itu, kita kembali seperti dulu. Kembali tepat disaat 16 tahunku.
Hari-hari tak pernah sepi lagi, kau hadir kembali dengan segenap perasaan yang kau miliki.
Namun benar, hal itu tak bertahan lama. Kau mulai sering menghilang dan tak pernah ada kabar. Aku yang mulai terbiasa ini pun jarang menanyakan kemana dirimu pergi. Waktu terus berjalan dank au masih sama, aku geram akan tindakanmu yang dapat menghubungi orang lain sementara aku? Aku kau acuhkan seperti tak pernah ada. Aku ingin menanyakan kejelasan kepadamu, tapi aku sudah tau respon apa yang akan kau berikan nantinya. Kau pikir aku ini apa? Aku punya hati, dan hatiku ini masih memiliki perasaan. Pikiran buruk mulai menyelimuti, prasangka demi prasangka muncul. Bukan aku yang menginginkan hal ini, tapi sikapmu yang tak pasti. Aku selalu menerka-nerka salah dan dosa apa yang kulakukan padamu? Tak kunjung kutemukan jawaban, kutanyakan kepamu namun kau kembalikan semua pertanyaan itu kepadaku.
Aku mulai merasa keputusanku ini salah. Menerimu kembali seharusnya tidak perlu. Tingkahmu semakin menjadi dan kau seolah ingin menjatuhkan harga diriku. Apa sebenarnya maumu? Dengan seenaknya kau mempermainkan perasaan yang sudah beberapa kali ini kau sakiti. Lupakah kau akan segala ucapanmu sendiri? Atau kau tiba-tiba menderita amnesia? Tindakanmu hanya diam seribu bahasa. Kau pasti tau aku menjerit disini, tapi apa yang kudapat? Kebisuan, ya kebisuan oleh orang yang telah meminta kembali kepadaku dan kini meninggalkanku dengan segala kepedihan dan harga diri yang terinjak.
Saat itu aku tak banyak berbicara kepaadamu, hanya obrolan kecil yang awalnya cukup canggung. Namun dengan menekan segala keraguan yang ada aku berusaha untuk membiasakan diri. Tak juga terpungkiri raut wajah gugupmu. Tertawalah dalam hati diriku ini. Duduk disampingmu, mendengar suaramu, bahkan menyentuh tanganmu. Tuhan, ini begitu nyata. Dia yang kucinta ada didepan mata, dia yang selalu menjadi alasan mengapa aku rapuh. Beberapa jam kuhabiskan waktu bersamamu, tak terasa kita harus berpisah. Menciptakan jarak kembali, dan kuharap kita dapat bertemu lagi. Kulambaikan tangan seraya jarak semakin menjauh dan tak kulihat lagi dirimu.
Di perjalan aku selalu mengingat setiap hal kecil yang baru saja kita alami. Sangat mengharukan. Terimakasih untuk hari itu. Mungkin itu adalah kado terindah di bulan April untukku. Satu hari sebelum 30 April, ulangtahunku. Kau mulai aneh, marah tidak karuan, menciptakan emosi yang begitu meluap. Apa yang terjadi? Aku berpikir bahwa ini hanya trikmu untuk memberikan kejutan di hari ulangtahunku besok. Kutunggu jam bergerak kearah 12, namun tak kutemukan kemunculanmu di layar ponselku. Hanya beberapa teman sepermainanku, dan aku mulai putus asa. Ternyata kau benar-benar marah.
Namun tidak, tepat pukul 04.00 ponselku berbunyi, satu panggilan dari nomer yang disembunyikan. Aku malas mengangkatnya, karena mataku masih terpejam. Dengan berat hati aku angkat jua panggilan masuk itu, tidak ada suara. Ah orang iseng, kututup panggilan itu. Beberapa saat kemudian namamu muncul, segera kuangkat lagi, dan benar saja kau meminta maaf atas kemarahan yang tak berasalanmu itu, kau berkata bahwa itu memang sudah direncanakan. Pagi itu kau mengingatkanku akan pertama kalinya kau bilang bahwa kau menyayangiku, dank kau lakukan lagi saat itu. Sungguh aku sangat bahagia, namun tak bisa kupungkiri bahwa keraguan yang besar juga bersarang di hati ini. Permintaanmu untuk kembali. Aku takut kau akan meyakitiku lagi, aku terlalu takut lebih banyak air mata yang akan jatuh, aku takut. Kau meyakinkanku bahwa kita akan memulai yang baru, dan kesalahan yang lalu akan menjadi pelajaran bagimu. Pagi itu, kita kembali seperti dulu. Kembali tepat disaat 16 tahunku.
Hari-hari tak pernah sepi lagi, kau hadir kembali dengan segenap perasaan yang kau miliki.
Namun benar, hal itu tak bertahan lama. Kau mulai sering menghilang dan tak pernah ada kabar. Aku yang mulai terbiasa ini pun jarang menanyakan kemana dirimu pergi. Waktu terus berjalan dank au masih sama, aku geram akan tindakanmu yang dapat menghubungi orang lain sementara aku? Aku kau acuhkan seperti tak pernah ada. Aku ingin menanyakan kejelasan kepadamu, tapi aku sudah tau respon apa yang akan kau berikan nantinya. Kau pikir aku ini apa? Aku punya hati, dan hatiku ini masih memiliki perasaan. Pikiran buruk mulai menyelimuti, prasangka demi prasangka muncul. Bukan aku yang menginginkan hal ini, tapi sikapmu yang tak pasti. Aku selalu menerka-nerka salah dan dosa apa yang kulakukan padamu? Tak kunjung kutemukan jawaban, kutanyakan kepamu namun kau kembalikan semua pertanyaan itu kepadaku.
Aku mulai merasa keputusanku ini salah. Menerimu kembali seharusnya tidak perlu. Tingkahmu semakin menjadi dan kau seolah ingin menjatuhkan harga diriku. Apa sebenarnya maumu? Dengan seenaknya kau mempermainkan perasaan yang sudah beberapa kali ini kau sakiti. Lupakah kau akan segala ucapanmu sendiri? Atau kau tiba-tiba menderita amnesia? Tindakanmu hanya diam seribu bahasa. Kau pasti tau aku menjerit disini, tapi apa yang kudapat? Kebisuan, ya kebisuan oleh orang yang telah meminta kembali kepadaku dan kini meninggalkanku dengan segala kepedihan dan harga diri yang terinjak.
Sabtu, 01 Februari 2014
Tulisan Keenam "Sekedar Cerita 1"
12 Agustus 2012, kau berkata akan membuat kejutan untukku.
Tapi aku malah tertidur. Dan krtika aku terbangun kau tidur. Tapi ketika jam
dinding menunjukkan pukul 04.00, kau mengatakan bahwa engkau menyayangiku. Aku
sempat ragu, tetapi aku tak bisa membohongi perasaan, bahwa aku juga
menyayangimu. Dari situlah kaau dan aku memulai hubungan dengan apa adanya.
Entah kenapa perasaan ini semakin kuat setiap harinya. Caramu membuatku untuk
tertawa, suasana yang tak pernah membuatku bosan. Meskipun kita tak pernah
bertatap muka. Selang waktu berlalu, sekitar akhir Januari, aku mulai
mengetahui seseorang dari masa lalumu. Seperti perempuan yang lain, aku mulai
merasa cemburu melihat kenangan masa lalumu, meskipun kau bilang tak lagi
menyukainya.
Awal Februari , aku mulai merasa bahwa hubungan kita sudah
kasat mata, dan benar saja 26 Februari kau mengakhirinya. Aku tak bisa berbuat
apa-apa. Sangat susah menjabarkan bagaimana kesakitan ini menjalar. Aku
menangis, tapi tidak menggila. Malam itu aku memintamu untuk menemaniku. Daa
esoknya, kehampaan mulai menyelimuti.
Kujalani beberapa beberapa hari tanpamu. Disela dingin malam aku selalu mengingat kita, alhasil airmataku jatuh. Aku tidak pernah menyalahkanmu, karena aku yang masih kekanakan. Aku sadar.
Kujalani beberapa beberapa hari tanpamu. Disela dingin malam aku selalu mengingat kita, alhasil airmataku jatuh. Aku tidak pernah menyalahkanmu, karena aku yang masih kekanakan. Aku sadar.
Ketika adaa seseorang baru dala kehidupanku, selang 2 minggu
saja. Aku memutuskan untuk mengubur perasaanku padamu dan mencoba menjalani
hari dengannya. Aku tau tak adil baginya, tapi aku selalu berusaha melakukan
yang terbaik untukknya. Bersama dia, aku mulai melupakan sedikit tentangmu.
Dia yang periang, sama sperti aku. Tapi dia juga kekanakna, sepertiku. Taapi aku menghargainya. dia membuatku merasa bahwa akulah perempuan yang ditakdirkan untuknya. Dia menjagaaku tentu aku tau.
Dia yang periang, sama sperti aku. Tapi dia juga kekanakna, sepertiku. Taapi aku menghargainya. dia membuatku merasa bahwa akulah perempuan yang ditakdirkan untuknya. Dia menjagaaku tentu aku tau.
Sementara itu kau mulai dekat dengan seorang temanku. Kau
bercerita tentang kita. Taapi kedekatanmu masih membuatku cemburu. Entah apa
yang kalian bicarakan, tapi aku merasa kau mulai menyukainya.
Pernah disaat aku bersama dengan temanku itu, entah apa yang ada dalam pikiran kalian. Kau dan temanku saling berbicara di telepon dan aku ada disana. Aku menangis, dan masih karenamu.
Entah aapa yang kurasakan saat itu, marah? Tentu aku marah. Tetapi kau malah menyalahkanku dan akhirnya aku yang meminta maaf. Selalu aku. Aku sadar tak perlu seperti ini, dia teanku. Aku harus mempercayainya, dan kau, bukan lagi siapa-siapaku.
Pernah disaat aku bersama dengan temanku itu, entah apa yang ada dalam pikiran kalian. Kau dan temanku saling berbicara di telepon dan aku ada disana. Aku menangis, dan masih karenamu.
Entah aapa yang kurasakan saat itu, marah? Tentu aku marah. Tetapi kau malah menyalahkanku dan akhirnya aku yang meminta maaf. Selalu aku. Aku sadar tak perlu seperti ini, dia teanku. Aku harus mempercayainya, dan kau, bukan lagi siapa-siapaku.
Perasaanku mulai tumbuh kembali kepadamu, meskipun aku telah
bersamanya. Tapi kau juga kembali seperti dulu. Aku masih ingat bagaimana cara
yang kulakukan saat aku mengirimkan pesan kepadamu, padahal dia adaa
disampingku. Ah sungguh baajingaan diriku ini. Mungkin kau juga.
Sampai pada suatu saat kau menguak kembali kenangan-kenangan
kita. Disaat aku berpikir bahwa kau tak pernah peduli. Ternyata, kau peduli.
Kata-kata yang menyentuh, bagaimana kesakitan yang kau rasakan, aku baru
mengetahuinya.aa
Malam itu, 27 Maret aku menangis sejaadinya. Kau meneleponku, menemaniku hingga jatuh tertidur. Aku menyerah pahda perasaanku.
Malam itu, 27 Maret aku menangis sejaadinya. Kau meneleponku, menemaniku hingga jatuh tertidur. Aku menyerah pahda perasaanku.
Esoknya dengan mata sembab aku bersekolah, dan kulihat wajah
khawatirnya. Maaafkan aku, aku tak bisa jujur padanya. Pasti terlalu sakit
untuknya. Keesokan harinya dia mengetahui sebab dari sembabnya mataku, entah
darimana. Aku melihat raut marah diwajahnya, dan saat itu aku mulai benar-benar
bertekad melupakanmu.
Namun tidak bisa, entah kenaapa aku mulai ragu akan dia. Dia
mulai menjauh dan aku mengetahui satu rahasia tentangnya. Aku memutuskannya, 8
April.
Sejak saat itu aku bertambah dekat denganmu lagi.
Sejak saat itu aku bertambah dekat denganmu lagi.
Pertengahan April aku akan pergi ke kotamu untuk mengikuti
sebuah acara, namun karena beberapa alasan hal itu dibatalkan. Pada tanggal 27
April, malam sebelumnya temanku yang tadi memaksaku untuk menoton sebuah
pertunjukan di Taman Hiburan Rakyat. Aku tidak bisa pergi, karena berbagai
kemungkinan dan alasan. Tapi paginya dengan berat hati aku pergi, dan untuk
pertama kalinya aku membolos.
Masih menggunakan seragam aku naik bis dengan teman yang sempat aku benci. Duduk di kursi palin belakang. Tak ada sepintas pikiran untuk bertemu denganmu, karena 2 hari lalunya kita bertengkar. Temanku menyuuhku untuk menghubungimu, karena saat temanku mengajakmu kau bilang tidak bisa menemani dan hari itu ada ulangan. Dengan perasaan yang kutekan kuat-kuat aku menghubungimu dan membujukmu ikut, namun tiba-tiba ponselku ati. Ah selalu tak memihak. Aku putus asa.
Masih menggunakan seragam aku naik bis dengan teman yang sempat aku benci. Duduk di kursi palin belakang. Tak ada sepintas pikiran untuk bertemu denganmu, karena 2 hari lalunya kita bertengkar. Temanku menyuuhku untuk menghubungimu, karena saat temanku mengajakmu kau bilang tidak bisa menemani dan hari itu ada ulangan. Dengan perasaan yang kutekan kuat-kuat aku menghubungimu dan membujukmu ikut, namun tiba-tiba ponselku ati. Ah selalu tak memihak. Aku putus asa.
Tibalah aku ditempat pertunjukan, aku bertemu dengan
teman-teman komunitas yang ikut dalam pertunjukan, mereka satu kota denganku
dan kebetulan disana ada saudaraku. Mereka masih bersiap diri. Aku pergi ke
kamar madi, saat disitulah temanku bilang bahwa kau akan datang dan sudah di
perjalanan. Hatiku berkecamuk, senang, gugup, rasanya… entahlah. Kalian bisa
membayangkan bagaimana rasanya bertemu untuk pertama kalinya dengan seseorang
yang membuat kalian jatuh cinta. Kau menyuruh kami untuk menunggu di gerbang.
Aku sempat tak mau karena sangat gugup. Tapi pada akhirnya tetap saja aku
menunggumu di depan gerbang. Lama aku menunggu, sekitar 45 menit, dan selama
itu pula rasa gugup dan salah tingkahku menyeruak. Berkali-kali aku mendekati
jalanan untuk memastikan kau datang, tapi tak kunjung tiba . 4 gelas air
mineral habis kuteguk. Sungguh menyebalkan, dan saat aku kembali menengok kea
rah jalan. Temanku memanggil dan ternyata kau sudah ada disampingnya.
Kalian berjalan dulu, dan aku dibelakang. Sunggu sangat sussah untuk menetralkan tingkah ini. Setelah beberapa banyak langkah, aku pun mulai terbiasa.
~~~~~
Kalian berjalan dulu, dan aku dibelakang. Sunggu sangat sussah untuk menetralkan tingkah ini. Setelah beberapa banyak langkah, aku pun mulai terbiasa.
~~~~~
Langganan:
Postingan (Atom)