Senin, 03 Februari 2014

Tulisan Ketujuh "Sekedar Cerita 2"


Ingin sekali aku berteriak kepadamu bahwa aku adalah orang yang mencintaimu dan tersakiti oleh sikapmu dulu. Ingin rasanya airmata ini kutumpahkan saat itu juga, agar kau dapat melihat betapa rapuhnya hati seorang gadis kecil yang pernah kau akui sebagai seorang yang kau sayangi ini.
Saat itu aku tak banyak berbicara kepaadamu, hanya obrolan kecil yang awalnya cukup canggung. Namun dengan menekan segala keraguan yang ada aku berusaha untuk membiasakan diri. Tak juga terpungkiri raut wajah gugupmu. Tertawalah dalam hati diriku ini. Duduk disampingmu, mendengar suaramu, bahkan menyentuh tanganmu. Tuhan, ini begitu nyata. Dia yang kucinta ada didepan mata, dia yang selalu menjadi alasan mengapa aku rapuh. Beberapa jam kuhabiskan waktu bersamamu, tak terasa kita harus berpisah. Menciptakan jarak kembali, dan kuharap kita dapat bertemu lagi. Kulambaikan tangan seraya jarak semakin menjauh dan tak kulihat lagi dirimu.
Di perjalan aku selalu mengingat setiap hal kecil yang baru saja kita alami. Sangat mengharukan. Terimakasih untuk hari itu. Mungkin itu adalah kado terindah di bulan April untukku. Satu hari sebelum 30 April, ulangtahunku. Kau mulai aneh, marah tidak karuan, menciptakan emosi yang begitu meluap. Apa yang terjadi? Aku berpikir bahwa ini hanya trikmu untuk memberikan kejutan di hari ulangtahunku besok. Kutunggu jam bergerak kearah 12, namun tak kutemukan kemunculanmu di layar ponselku. Hanya beberapa teman sepermainanku, dan aku mulai putus asa. Ternyata kau benar-benar marah.
Namun tidak, tepat pukul 04.00 ponselku berbunyi, satu panggilan dari nomer yang disembunyikan. Aku malas mengangkatnya, karena mataku masih terpejam. Dengan berat hati aku angkat jua panggilan masuk itu, tidak ada suara. Ah orang iseng, kututup panggilan itu. Beberapa saat kemudian namamu muncul, segera kuangkat lagi, dan benar saja kau meminta maaf atas kemarahan yang tak berasalanmu itu, kau berkata bahwa itu memang sudah direncanakan. Pagi itu kau mengingatkanku akan pertama kalinya kau bilang bahwa kau menyayangiku, dank kau lakukan lagi saat itu. Sungguh aku sangat bahagia, namun tak bisa kupungkiri bahwa keraguan yang besar juga bersarang di hati ini. Permintaanmu untuk kembali. Aku takut kau akan meyakitiku lagi, aku terlalu takut lebih banyak air mata yang akan jatuh, aku takut. Kau meyakinkanku bahwa kita akan memulai yang baru, dan kesalahan yang lalu akan menjadi pelajaran bagimu. Pagi itu, kita kembali seperti dulu. Kembali tepat disaat 16 tahunku.
Hari-hari tak pernah sepi lagi, kau hadir kembali dengan segenap perasaan yang kau miliki.
Namun benar, hal itu tak bertahan lama. Kau mulai sering menghilang dan tak pernah ada kabar. Aku yang mulai terbiasa ini pun jarang menanyakan kemana dirimu pergi. Waktu terus berjalan dank au masih sama, aku geram akan tindakanmu yang dapat menghubungi orang lain sementara aku? Aku kau acuhkan seperti tak pernah ada. Aku ingin menanyakan kejelasan kepadamu, tapi aku sudah tau respon apa yang akan kau berikan nantinya. Kau pikir aku ini apa? Aku punya hati, dan hatiku ini masih memiliki perasaan. Pikiran buruk mulai menyelimuti, prasangka demi prasangka muncul. Bukan aku yang menginginkan hal ini, tapi sikapmu yang tak pasti. Aku selalu menerka-nerka salah dan dosa apa yang kulakukan padamu? Tak kunjung kutemukan jawaban, kutanyakan kepamu namun kau kembalikan semua pertanyaan itu kepadaku.
Aku mulai merasa keputusanku ini salah. Menerimu kembali seharusnya tidak perlu. Tingkahmu semakin menjadi dan kau seolah ingin menjatuhkan harga diriku. Apa sebenarnya maumu? Dengan seenaknya kau mempermainkan perasaan yang sudah beberapa kali ini kau sakiti. Lupakah kau akan segala ucapanmu sendiri? Atau kau tiba-tiba menderita amnesia? Tindakanmu hanya diam seribu bahasa. Kau pasti tau aku menjerit disini, tapi apa yang kudapat? Kebisuan, ya kebisuan oleh orang yang telah meminta kembali kepadaku dan kini meninggalkanku dengan segala kepedihan dan harga diri yang terinjak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar